5 menit - Kamis, 24 Agustus 2023
Menjaga kekudusan saat berpacaran - secara global, tatanan masyarakat telah banyak berubah. Open minded kerap disuarakan oleh generasi muda. Banyak yang merasa bahwa selama ini, manusia hidup dalam tatanan masyarakat yang terlalu toxic. Banyak anak muda yang menilai bahwa masyarakat terlalu ikut campur akan kehidupan pribadi seseorang.
Namun atas dalih, menjadi manusia yang open minded, rasanya kini mulai kebablasan. Penyimpangan maupun pelanggaran seolah dinormalisasi, saking banyaknya yang melakukan hal serupa.
Hidup dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga sedikit banyaknya mempengaruhi. Media massa kerap menampilkan hal-hal yang tidak sepantasnya. Sejak dulu sampai sekarang, memiliki ketertarikan pada lawan jenis adalah hal yang normal.
Menjalin suatu hubungan juga rasanya wajar. Tetapi, orang yang sedang berpacaran kadang-kadang lupa ada batasan sampai dimana dia boleh intim dengan pasangannya. Kemesraan yang kerap dipertontonkan di social media secara tidak langsung mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Gaya pacaran yang terlalu intim dapat mendorong terjadinya seks pranikah, sebuah aktivitas seksual yang dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan. Perilaku ini merupakan akibat dari perkembangan biologis sehingga mendorong hasrat seksual.
Jadi apakah seharusnya manusia tidak diperbolehkan untuk berpacaran? Tentu tidak. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, pacaran dengan lawan jenis itu wajar. Tetapi ada baiknya untuk mengerti terlebih dahulu, apa itu pacaran, batasan-batasan dalam berpacaran, dan pentingnya menjaga kekudusan.
Anak-anak muda kerap salah kaprah mengenai esensi dari menjalin suatu hubungan romantic atau yang lebih dikenal dengan pacaran. Pada dasarnya, pacaran merupakan suatu masa penjajakan serius antara satu pria dan satu wanita.
Dimana tujuan dari pacaran ini adalah untuk mengetahui apakah nanti bisa hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Arti dan tujuan dari pacaran sebaiknya disadari oleh kedua belah pihak yang sedang berpacaran. Mengutip kalimat ditulis oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam bukunya bertajuk, melihat kecocokan dalam berpacaran bahwa berpacaran adalah suatu masa yang memiliki tujuan spesifik.
Pacaran bukan sekadar untuk penyemangat dan pengisi kesepian. Bukan untuk pemuasan nafsu. Bukan untuk coba-coba atau memenuhi rasa ingin tahu. Bukan merupakan solusi atas masalah ekonomi. Tetapi lebih dari itu, suatu masa untuk mengetahui apakah kita dan pasangan memiliki kecocokan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius.
Dalam masa berpacaran, keintiman fisik seharusnya menjadi yang paling akhir. Keintiman yang harus dikedepankan adalah keintiman yang bersifat emosional, misalnya kepribadian, kecocokan, pengertian, dan pemahaman satu dengan yang lain.
Keintiman seksual harus dilakukan pada masa pernikahan. Kalau prioritasnya terbalik, maka dapat menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Bukan tanpa alasan, keintiman seksual ketika berpacaran dapat melahirkan beberapa perasaan negatif seperti :
Rasa Bersalah Nilai moral tentu melarang manusia untuk melakukan hubungan seks pranikah. Jika terlanjur melakukan, pasti akan menimbulkan rasa bersalah. Tetapi yang paling parah adalah merasa bersalah, dan tidak bisa melepaskan diri dari jeratan itu. Semakin merasa bersalah, manusia akan semakin merasa tidak berdaya melawan godaan dan berujung melakukannya secara terus menerus.
Umumnya dialami oleh para wanita, karena cemas akan terjadinya kehamilan. Sejauh ini, penggunaan alat kontrasepsi bukan jaminan mutlak akan sebuah hubungan seksual yang aman.
Dalam hal ini, wanita sepertinya menjadi pihak yang paling dirugikan. Setelah memberikan tubuhnya, ketakutan akan ditinggalkan pasti menghantui. Hubungan seksual bukan aktivitas fisik semata, melainkan penyerahan hidup yang intim dan bermakna.
Reaksi lain yang umum terjadi adalah timbulnya rasa marah atau benci. Rasa ini muncul karena kesadaran bahwa hubungan ini tidak kudus. Kesadaran bahwa hubungan hanya didasarkan pada nafsu semata. Tidak ada ketertarikan yang lain, selain dari ketertarikan seksual.
Untuk itulah, sangat penting bagi siapa pun untuk menjaga kekudusan dalam masa pacaran. Akan sangat baik, jika hubungan memiliki pondasi yang benar, berakar pada iman, dan mengejar perkenanan Tuhan.
Alkitab tidak secara spesifik membahas mengenai pacaran. Tetapi sebagai pedoman dalam kehidupan orang percaya, Alkitab tentu mengajarkan prinsip-prinsip pengajaran mengenai hubungan, termasuk hubungan romantis. Dalam 1 Tesalonika 4:3-5 ada tertulis bahwa orang percaya dipanggil untuk memuliakan Tuhan dan menjauhkan diri dari percabulan.
Turut dikatakan bahwa orang percaya seharusnya hidup dalam pengudusan dan penghormatan, bukan dalam keinginan hawa nafsu. Karena perbuatan demikian dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.
Untuk menjaga kekudusan dalam berpacaran, sangat penting untuk menjaga dan menetapkan batasan. Batasan-batasan ini haruslah mengacu kepada prinsip-prinsip Alkitabiah.
Menetapkan batasan yang mencegah aktivitas seksual dan menjaga kesucian adalah penting. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghormatan akan rencana Tuhan dalam sebuah hubungan. Batasan tidak harus terpaku pada fisik, tetapi juga emosional dan spiritual.
Pada akhirnya, seperti ada tertulis, Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus (1 Tes 4:7). Tentu bukan hal yang mudah. Tetapi dengan hikmat yang diberikan oleh Tuhan, orang percaya dimampukan dan dituntun mengenai apa yang benar dan apa yang salah.
Dalam semua bidang kehidupan, termasuk hubungan romantic, orang percaya terdorong untuk mencari dan menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Libatkan Tuhan dalam setiap hubungan yang dibangun. Memohon pertolongan dan bimbingan Tuhan, agar hubungan yang dijalin senantiasa dalam kekudusan dan menyenangkan hati Tuhan.
Perlu aplikasi untuk memudahkan manajemen pelayanan gereja? Erista punya solusinya. Erista, satu solusi untuk manajemen gereja. Cobain sekarang, klik disini!