ArticleGereja Sebagai Sebuah Komunitas

Stefanus Kristianto profile picture
Stefanus Kristianto
Pendeta

3 menit - 25 Juli 2022

Kata ‘gereja’ tentu bukan kata yang asing bagi kita. Bahkan, bukan tidak mungkin, beberapa di antara kita bisa menjelaskan berbagai terminologi tentang gereja, lengkap dengan pengertiannya. Meski demikian, tidak banyak yang benar-benar memahami apa itu ‘gereja’? Khususnya di tengah jaman ini, pemahaman umat mengenai ‘gereja’ nampaknya kian terdistorsi.

Dalam Perjanjian Baru, kata Yunani yang digunakan untuk menyebut ‘gereja’ ialah ekklesia. Kata ini muncul beberapa kali dalam Perjanjian Baru dan diterjemahkan dalam Alkitab TB-LAI sebagai “Jemaat” (misalnya Matius 16:18; 1 Timotius 3:15, dsb). Dari penggunaan kata ini dalam Perjanjian Baru, ada beberapa hal penting yang bisa kita catat. Namun, dalam kesempatan ini, kita hanya akan berfokus pada aspek relasional gereja.

Dalam literatur Yunani kuno, kata ekklesia biasa digunakan untuk merujuk pada kumpulan orang banyak. Dengan kata lain, kata ini sebenarnya sedang berbicara soal keberadaan sebuah komunitas. Penulis Perjanjian Baru nampaknya juga menggunakan kata ini untuk menekankan pengertian demikian. Gereja adalah sebuah komunitas, sebuah kumpulan orang-orang percaya. Tuhan Yesus sendiri juga menekankan sifat komunitas ini. Itu sebabnya Ia mengajar kita berdoa “Bapa Kami,” dan bukan “Bapaku.”

Aspek komunitas ini membawa setidaknya dua implikasi bagi cara kita bergereja. Pertama, gereja harus hidup sebagai komunitas. Harus diakui, zaman cenderung mendorong kita menjadi tertutup dan individualistik. Lebih buruk lagi, pandemi yang merajalela beberapa tahun terakhir kian memperkuat kecenderungan ini. Banyak orang puas dengan ibadah daring dan lupa bahwa cara demikian adalah mode darurat yang harus dipilih karena keadaan. Belakangan, beberapa kalangan malah menawarkan sebuah realitas virtual, yang diam-diam justru memperkuat semangat individualistik kita. Karena hal-hal ini, tak heran saya mendengar banyak gereja mengeluh karena Jemaat mereka enggan kembali beribadah bersama.

Di sini kita harus ingat bahwa ‘gereja’ bukan menyangkut soal ritualisme belaka. Sebagai gereja, Tuhan ingin kita hidup dan beribadah sebagai sebuah komunitas. Justru, ketika kita menjauhkan diri dari ibadah dan hidup komunitas, serta puas dengan spiritualisme individual, sebenarnya kita telah kehilangan elemen penting menjadi gereja.

Kedua, gereja harus hidup sebagai komunitas relasional. Dalam kehidupan sebagai komunitas itu, Tuhan menginginkan ada relasi yang terbangun di dalamnya. Sayangnya, lagi-lagi jaman menggoda kita hidup hanya untuk diri sendiri. Sebelum pandemi, saya menemui banyak orang Kristen yang menjadikan ibadah sekadar sebagai sebuah ritual mingguan. Mereka datang, mereka beribadah, mereka segera pulang. Tidak ada relasi yang terjalin dengan saudara seiman di gereja. Mereka bahkan tidak tidak kenal siapa orang yang duduk di depan atau di sebelah mereka.

Faktanya, Tuhan tidak ingin kita hidup hanya untuk diri sendiri. Ia ingin kita membangun relasi dengan sesama umat-Nya. Relasi itu sendiri hanya bisa terjadi ketika kita berbagi kehidupan dan kebaikan dengan mereka, dan bukan melulu asyik dengan urusan sendiri. Relasi itu juga tidak akan terbangun melalui realitas virtual yang semu, sebab manusia membutuhkan relasi yang nyata dan mendalam, bukan sekadar perjumpaan yang semu. Relasi yang mendalam hanya bisa dibangun melalui perjumpaan yang nyata dan terbuka.

Di tengah situasi yang menantang ini, maukah kita kembali menghidupi panggilan bergereja ini?