ArticleGereja, saatnya mengadopsi teknologi dalam pelayanan!

Ricky Njoto profile picture
Ricky Njoto
Pendiri Erista

5 menit - 23 Agustus 2022

Salah satu organisasi penelitian yang terkemuka, McCrindle, baru-baru ini menerbitkan temuan dari penelitian mereka mengenai Generasi Z dan Alpha — yang menunjukkan besarnya perbedaan mereka dengan generasi-generasi sebelumnya. Generasi Z adalah anak-anak SMP dan SMA masa kini, dan Generasi Alpha sebagian besar adalah anak-anak dari Generasi Milenial.

Generations Infographic McCrindle
Sumber: McCrindle, “Gen Z and Gen Alpha Infographic Update,” diakses pada 23 Aug 2022, https://mccrindle.com.au/ article/archive/gen-z-and-gen-alpha-infographic-update/

Walau mungkin tidak mengagetkan, temuan ini sangat menarik untuk dipertimbangkan oleh gereja, terutama jika kita serius untuk melayani generasi-generasi di bawah kita dengan cara yang relevan untuk mereka — menemui mereka di mana mereka berada; “bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya” karena Injil (1 Korintus 9:22).

Setidaknya ada 2 implikasi yang relevan untuk gereja saat ini.

1. Generasi baru semakin mengandalkan teknologi.

Sudah jelas bahwa orang-orang generasi muda lahir di dalam dunia yang jauh lebih mengandalkan teknologi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Generasi Y, Z, dan Alpha semua menikmati musik secara digital, menggunakan teknologi yang semakin canggih. Anak-anak Generasi Alpha melakukan proses pembelajaran yang virtual atau daring, yang juga didorong oleh pandemi Covid. Tapi yang mungkin paling relevan untuk gereja masa kini adalah fakta di mana baik Generasi Z maupun Alpha mencari pendapat dan pengaruh melalui dunia virtual; melalui forum dan chatbot.

Poin terakhir tersebut sangat penting terlebih jika gereja ingin memiliki pengaruh pada kehidupan spiritual anak-anak muda jaman sekarang, maka kita harus mempertimbangkan cara untuk menjangkau mereka di mana mereka berada.

Menyadari semua ini diperlukan gereja untuk dapat membina kaum muda, tidak hanya untuk membentuk mereka dalam keserupaan dengan Kristus, tetapi juga untuk mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin gereja di masa depan. Gereja perlu berkembang dan beregenerasi dari generasi ke generasi, dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan memastikan bahwa ada orang-orang di setiap generasi untuk melatih dan memuridkan.

Tapi, untuk melatih dan memuridkan orang-orang yang ahli teknologi, kita juga perlu memahami teknologi. Dan ini membawa saya ke poin relevan kedua.

2. Ada kesenjangan budaya antara kepemimpinan gereja dan kaum muda.

Bagi kebanyakan gereja, ini benar. Kebanyakan pendeta dan pemimpin gereja adalah Baby Boomers atau Generasi X. Beberapa gereja memiliki kepemimpinan yang 'lebih muda' dari Generasi Y, tetapi mayoritas masih berasal dari generasi analog yang lebih tua.

Ini berarti terdapat kesenjangan budaya.

Bagaimana gereja dapat melayani kaum muda dengan menggunakan teknologi digital dan menemui mereka di mana mereka berada jika pemimpin-pemimpinnya bukanlah orang yang ahli teknologi, atau setidaknya paham teknologi? Dan memang, ini dapat menjadi masalah yang serius bagi banyak gereja.

Ada perbedaan gaya antara generasi tua dan muda. Anak muda berkomunikasi menggunakan alat digital seperti meme dan emoji, misalnya.

Ada juga perbedaan dalam adopsi teknologi. Misalnya, anak muda tidak punya masalah berada di media sosial dan berbagi kehidupan mereka secara online saat mereka menggunakan aplikasi media sosial terbaru, sedangkan banyak orang dari generasi yang lebih tua agak ragu untuk mengekspos kehidupan pribadinya di web.

Ada juga perbedaan dalam pendekatan kepemimpinan. Generasi Z dan Alpha lebih banyak nyaman dengan jenis kepemimpinan yang berkolaborasi dan memberdayakan daripada yang menyuruh atau mengontrol, di mana orang-orang di generasi lebih tua lebih terbiasa.

Jadi, bagaimana cara gereja bisa mulai merangkul generasi muda dengan menggunakan teknologi?

Ada beberapa cara sederhana yang dapat diadopsi gereja untuk mulai merangkul teknologi dalam pelayanan terhadap kaum muda.

Yang pertama, milikilah sebuah website.

Mayoritas anak muda menemukan gereja baru dengan mencarinya di web. Untuk membuat gereja Anda dapat dilihat oleh kaum muda, Anda harus memiliki website — sebaiknya website yang juga responsif dan cantik.

Yang kedua, milikilah akun media sosial.

Mayoritas anak muda mencari gereja menggunakan media sosial (Instagram, YouTube, Facebook, bahkan mungkin TikTok!). Dan perhatikan ini, mereka tidak hanya memeriksa apakah Anda eksis di media sosial. Mereka juga memeriksa pengajaran, khotbah, nuansa ibadah, dan gaya gereja. Itu berarti, apa yang Anda tampilkan di media sosial harus bersifat strategis dan autentik.

Yang terakhir, kembangkan beberapa komunikasi digital.

Ini berlaku untuk pengumuman satu arah ataupun komunikasi dua arah. Kita harus ada di mana mereka berada. Jika jemaat kita lebih suka berkomunikasi menggunakan SMS, maka kita menggunakan SMS. Jika mereka menggunakan WhatsApp atau Line, maka kita menggunakan WhatsApp atau Line. Jika mereka lebih suka email, maka kita menggunakan email. Jika mereka ada di Messenger, Discord, ataupun Slack, maka kita harus menemukan cara untuk menjangkau mereka di sana.

Tapi ini bisa dengan cepat menyulitkan gereja. Bagaimana cara agar gereja dapat menggunakan serangkaian alat komunikasi digital yang begitu banyak dengan sumber daya manusia yang seringkali terbatas?

Erista dapat membantu!

Salah satu fitur Erista adalah komunikasi otomatis, yang memungkinkan gereja untuk dengan mudah menjadwalkan pengumuman atau berkomunikasi dengan orang-orang di jemaat mereka melalui satu website, tanpa harus berpindah saluran ataupun menggunakan perangkat komunikasi yang berbeda. Jadi jika gereja ingin mengirimkan komunikasi baik ke 1 orang, 50 orang, ataupun ke seluruh jemaat, bisa dapat dilakukan dengan mudah melalui Erista tanpa meninggalkan halaman web!

Ingin mencoba dengan gratis? Daftarkan gereja Anda sekarang juga!